Bantenaktual.com, Jakarta – Penampilan Nagita Slavina dengan mengenakan pakaian adat Papua sebagai Duta PON XX disebut cultural appropriation oleh banyak kalangan, salah satunya komedian Arie Kriting.
Arie menuturkan dalam sebuah unggahan di akun Instagramnya,“Penunjukkan Nagita Slavina sebagai Duta PON XX Papua pada akhirnya mendorong terjadinya cultural appropriation. Seharusnya sosok perempuan Papua, direpresentasikan langsung oleh perempuan Papua,” tulisnya.
Sebelumnya, hal serupa juga pernah terjadi pada Agnez Mo yang dinilai timbulkan cultural appropriation setelah berpenampilan dengan rambut layaknya gaya perempuan Afrika. Lantas apa itu cultural appropriation yang sedang gencar dibahas?
Artis Nagita Slavina tampil mengenakan pakaian adat Papua usai dipilih sebagai Duta Pekan Olahraga Nasional (PON). Sayangnya, penampilan istri Raffi Ahmad itu menuai protes keras.
Protes tersebut dicuitkan akun @gyozagonza di Twitter. Di situ, dia mengunggah artikel yang menuliskan tentang potret Nagita Slavina dalam balutan pakaian Papua.
“Karena tidak ada lagi perempuan Papua Barat untuk mewakili budaya mereka sendiri. Apropriasi (kesadaran terhadap budaya) tuh bukan cantik ya,” cuitnya berbahasa Inggris dikutip Senin (1/6/2021).
“Dan berhenti membuat alasan untuk perempuan ini (Nagita) dia bisa saja menolak ketika mengetahui dia bukan orang Papua. Berhenti membuat alasan untuk bukan Orang Asli Papua (OAP), dia dewasa kan, dia bisa saja menolak,” sambungnya lagi.
Dia kecewa mengapa tidak menunjuk orang asli Papua langsung untuk kampanye ini. Menurutnya, cantik tidak melulu identik dengan kulit putih.
“Bikin alasan terus untuk non-OAP, meskipun mereka memiliki lebih banyak privilege dari ko. Heran kenapa standar kecantikan masih kulit putih atau rambut lurus dll. Masa non-OAP mewakili orang pribumi di tanah pribumi? Make it make sense,” tuturnya.
Cuitan tersebut kini sudah mendapat ribuan likes dan ratusan retweet. Sayangnya, akun tersebut membatasi komentar balasannya.
Netizen yang membalas cuitan tersebut pun banyak yang setuju akan protes akun tersebut. Meski untuk kepentingan engagement publik, Nagita Slavina dinilai tak bisa merepresentasikan perempuan dan adat Papua.
“Gue sih nggak terlalu masalahin asalnya, tapi kenapa NS yang terpilih? Apa nggak ada wanita lain yang lebih mampu dan lebih paham budaya papua?,” ujar @roses_man.
“Mereka mulu. Pemerintah nggak kenal artis laen ya?” imbuh @ridho_iboek.
“Mace Pace lebih baik ketimbang anda,” timpal @dmncprz.
“Kritiknya ini sepertinya bukan Nagita nggak boleh jadi Duta PON, tapi soal apropriasi budaya Papua. Sebagai Duta PON ya Nagita pake aja baju sporty, atau apa kek. (Di sisi lain) Sedang ada operasi militer di Papua, tapol juga makin banyak; makin nggak pantes sembarang pake budaya Papua,” balas @Veronicakoman
Selain Nagita Slavina dan Raffi Ahmad, pesepak bola Boaz Solossa juga didapuk sebagai Duta PON XX yang akan digelar di Papua tahun ini.
PON Papua semula rencana digelar pada 20 Oktober hingga 2 November 2020, namun karena pandemi Covid-19, acara tersebut diundur menjadi Oktober 2021.
Berikut penjelasan tentang cultural appropriation yang ditudingkan kepada Nagita.
Dinilai sebagai perampasan budaya
Dikutip dari Everyday Feminism, secara sederhana cultural appropriation adalah sebuah konsep yang biasa digunakan untuk menyebut seseorang yang meminjam atribut budaya lain. Dalam hal ini, anggota budaya dominan meminjam budaya minoritas. Namun, alih-alih mengapresiasi atribut budaya tertentu, penggunaan atribut budaya lain justru dinilai sebagai perampasan budaya.
Dilansir pula dari jurnal ilmiah karya Jaja Grays bertajuk The Blurred Line of Cultural Appropriation, apropriasi budaya adalah perbuatan yang mengacu pada meminjam atau mencuri budaya dari kelompok minoritas untuk digunakan sebagai keuntungan pribadi.
Apropriasi budaya, menurut kamus bahasa Cambridge, seperti dikutip dari thefineryreport.com, secara luas didefinisikan sebagai perbuatan mengambil atau menggunakan sesuatu dari sebuah budaya yang bukan milik sendiri, terutama tanpa menunjukkan bahwa (pelakunya) memahami atau menghargai budaya tersebut. Hal-hal dalam konteks ini termasuk potongan pakaian, gaya rambut, kebiasaan, bahan-bahan, ideologi, hingga gaya musik.
Dapat melestarikan stereotip rasis
Cultural appropriation sendiri menjadi sangat sensitif meski kesensitifan tersebut tergantung pada pendapat anggota budaya minoritas. Kesensitifan pro-apropriasi dipengaruhi oleh sejumlah konteks.
Pertama, cultural appropriation membiarkan orang-orang menunjukkan cinta untuk budaya tertentu, namun tetap berprasangka terhadap orang-orangnya. Apropriasi juga membuat segala sesuatu terlihat ‘keren’ untuk orang kulit kutih, tapi ‘terlalu etnik’ untuk orang dengan kulit berwarna.
Selain itu, perlakuan apropriasi terhadap budaya tertentu, memungkinkan pelaku mendapatkan untung dari pemilik budaya itu sendiri. Bahkan, cultural appropriation disebut melestarikan streotip rasis dan menyebarkan kebohongan massal tentang budaya yang terpinggirkan.
Seorang spesialis Africa hairstyle bernama Tamara Albertini berpendapat, cultural appropriation menjadi sensitif dikarenakan dapat menyinggung latar belakang budaya tertentu.
Selanjutnya ia berpendapat, cultural appropriation dapat diatasi tergantung dengan niat awal yang ingin disampaikan ketika membuat imaji dengan gaya rambut tersebut. Yakni, berupaya menciptakan inspirasi. Jangan hanya mencari popularitas semata.
Tamara juga menambahkan, agar menyertakan kredit terhadap inspirasi gaya rambut yang diadopsi. Lewat penyebutan spesifik nama budaya yang dipakai.
Manfaat mengenal cultural appropriation
Memahami apropriasi budaya sangat berguna untuk menghindari penghinaan budaya lain dan belajar untuk menghargai dan melestarikan budaya itu.
“Apropriasi budaya terjadi ketika kelompok yang memiliki kekuatan ekonomi, politik dan institusional, meminjam atau mencuri dari kelompok yang tertindas dan terpinggirkan,” kata Bruce Ziff and Pratima Rao dikutip Jaja Grays.
Dalam jurnal tersebut juga disebutkan bahwa apropriasi budaya terjadi ketika peminjam budaya tidak menyadari kedalaman pentingnya budaya yang mereka ikuti. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang kuat serta pencantuman kredit dan penghormatan bagi budaya yang hendak dipinjam atau diapresiasi. (Cep/red)