Bantenaktual.com, Tangerang – Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menyepakati tanggal pemungutan suara Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 serentak berlangsung pada Rabu, 14 Februari. Hal ini membuat KPU di wilayah mulai mempersiapkannya.
Ketua KPU Kota Tangerang, Syailendra mengatakan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 tahun 2022. Terbitnya aturan tersebut pihaknya pun akan melaksanakan tahapan pemilu 29 Juli hingga 13 Desember pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu.
“Agustus pendaftaran partai politik. Lalu Penetapan partai politik di Desember (2022),” ujarnya dalam diskusi Fraksi Teras yang diselenggarakan oleh Solusi Movement dengan tema kesiapan KPU menghadapi tahapan pemilu 2024, Selasa, (21/6/2022).
Dia mengatakan saat ini KPU tengah fokus dalam mensosialisasikan terkait dengan pesta demokrasi ini ke masyarakat. Mulai sosialisasi ke ranah akademik, masyarakat di lingkungan, Bandara hingga Lapas.
“Kita minta luangkan ide mereka. Dan mensosialisasikan Pemilu itu harus Luber Jurdil (Langsung, Umum, Bebas, Rahasia, Jujur, Adil),” katanya.
“Kegiatan, kami memupuk masyarakat akan menjadi pemilih yang cerdas dari SD, apa itu pemilu, pilkada seperti apa. 2020 di SLTP, mereka kan jadi pemilih pemula (di 2024),” tambahnya.
Dalam waktu dekat ini KPU kata Syailendra KPU Kota Tangerang bakal merilis kampung Demokrasi di Kecamatan Larangan. Hal ini kata dia sebagai bentuk perwujudan sosialisasi.
“Mencegah masyarakat untuk golput, di negara maju golput ada sanksi. Di kita (Indonesia) belum ada yang mengaturnya. Tapi kalau melihat partisipasi pemilih Kota Tangerang tertinggi di Banten dan terus mengalami kenaikan. Partisipasi pemilih di Kota Tangerang 85 persen,” jelasnya.
Kemudian soal pemuktahiran data berkelanjutan juga menjadi fokus KPU untuk menyongsong Pemilu mendatang. Dimana pihaknya turun langsung ke lingkungan untuk mendata masyarakat yang pindah domisili atau meninggal.
“Data pemilih kita ada kegiatan pemuktahiran data pemilih berkelanjutan. Kita ada website siKotang untuk data masyarakat,” ungkap Syailendra.
Belajar dari pengalaman Pemilu 2019 lalu, dimana banyak petugas KPU yang meninggal dunia. Kata Syailendra di Kota Tangerang rata-rata petugas KPU meninggal karena faktor usia dan memiliki penyakit bawaan atau komorbit.
“SDM, insya Allah. Sejak pilkada usia KPPS dibatasi maksimal 50 tahun. Menurut data dari KPU RI, yang meninggal diatas 50 tahun atau komorbit (2019),” katanya.
Kemudian juga ada kenaikan honor bagi petugas KPPS. Kata Syailendra gaji petugas naik 3 kali lipat. Yang awalnya hanya Rp 500 ribu kini Rp 1,5 Juta.
Terkait dengan Daerah Pilih (Dapil). Untuk saat ini kata Syailendra pihaknya masih 5 Dapil dengan 5067 TPS.
Ketua Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) Kota Tangerang, Agus Muslim mengatakan evaluasi Pemilu berkaca pada 2019. Ada catatan penting pada 2019 yakni tidak ada proses Pemilu yang digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pemilu 2019 catatan adalah dalam itu tidak ada yang digugat di MK, ini catatan penting. Kalau di 2024 ada yang menggugat berarti itu catatan terburuk kami. Konsekuensinya penyelenggara harus serius, beri rasa aman dan nyaman kepada peserta pemilu,” jelasnya.
Dia menuturkan terdapat 6 catatan penting yang harus diantisipasi berdasarkan Indeks kerawanan pemilu (IKP).
Diantaranya, pemuktahiran data pemilih. Dimana, KPU harus memastikan data pemilih dan menyesuaikannya. Lalu, money politic, penyebaran hoaks, beban kerja Evaluasi 2019 dan salah tafsir antara KPU dan Bawaslu soal urusan Pemilu.
“Kemudian, pendistribusian logistik. Di 2019 banyak titik yang salah itu kesalahan dari kita sehingga pada 2019 ada 56 titik yang di PSU karena salah titik,” ungkapnya.
Pengamat politik, Munadi mengatakan tahapan pemilu sudah diatur dalam undang-undang atau PKPU. Bawaslu dan KPU hanya tinggal menjalankan saja. Yang menjadi persoalan adalah polarisasi pemilu.
“Yang ada di polarisasi tahapnya politik ya masyarakat, media itu kan jga punya peran sebagai penyebar luar informasi,” katanya.
Kata dia, polarisasi kalau dikembangkan oleh partai politik kurang baik. Namun, partai politik harus membangun sebuah kondisi yang kondusif.
“Karena sumber itu kalau masyarakat sangat tidak mungkin. Ada informasi dari masyarakat dari media dan media sosial. Nah Ujungnya kan kepentingan ketika dia (partai politik) ingin menang maka dia ngebunuh secara politik calon lain. Maka disana lah terjadi polarisasi,” jelas Munadi.
Penyebaran berita hoaks, isu rasis telah terjadi sejak lama. Kata dia, ada potensi partai politik untuk mengemas itu agar menang dalam pesta demokrasi ini. Secara umum kata Munadi memang sesuai dengan regulasi. Namun, hal berbeda ketika terjadi di lapangan.
“Ini perlu kesadaran juga, sebenarnya kan parpol sudah cukup baik, tapi ada juga karena kepentingan politik lebih dominan ada hal tertentu yahh kadang, karena ingin menang jadi lakukan bermacam cara,” katanya.
Contohnya saja, pengawasan di media sosial yang dilakukan oleh Bawaslu. Bawaslu hanya mengawasi media sosial partai yang telah didaftarkan.
“Yang tidak terdaftar siapa yang mengawasi, nah ini perlu regulasi memang harus di kuatkan. Siapa yang bikin itu ? Ya parlemen, parlemen dari mana ? Ya partai politik. Nah ini saling terkait Semuanya. Masyarakat juga jangan terbawa arus.
Pemerintah juga berperan penting dalam menciptakan iklim politik yang kondusif. Maka polarisasi menjadi tanggung jawab bersama baik partai politik, masyarakat hingga pemerintah. (Dens/red).