Kata-Kata Untuk Sebuah Kepentingan Di Batas Etika

Publik tengah menghadapi pada tokoh publiknya yang bermain kata-kata untuk sebuah kepentingan dan mempertaruhkan di atas etika.

Bantenaktual.com, Surabaya – Indonesia telah dan hingga saat ini masih mengalami bagaimana kerasnya perjuangan menghadapi pandemi Covid-19. Alih-alih persiapan menuju kondisi new normal diikuti dengan mengunging-hijaunya beberapa wilayah zona merah, namun menjelang akhir tahun 2020 kasus Covid-19 malah semakin meningkat hingga pada 26 Januari 2021 menyentuh 1 juta kasus positif Covid-19. Dengan fakta tersebut tercetuslah kebijakan Penerapan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang menggantikan skema PSBB di sejumlah wilayah di Indonesia.

Pelbagai jenis kebijakan dan fenomena telah banyak terjadi dan dirasakan oleh masyarakat untuk beradaptasi dan berdamai dengan kondisi pandemi saat ini. Segenap apresiasi dan kontroversi berhasil diciptakan oleh tokoh publik kita khususnya bagaimana penggunaan kata atau diksi yang menarik atensi negatif publik yang mengakibatkan ketidakjelasan, salah informasi bahkan polemik baru sebagai bentuk ketidakmampuan tokoh publik memanfaatkan komunikasi publik.

Sepanjang masa pendemi Covid-19 sejak awal 2020 menginjak genap satu tahun, publik telah disuguhkan beragam manuver komunikasi tokoh publik kita dengan polemiknya masing-masing mulai dari yang berkaitan dengan kebijakan strategis penanganan Covid-19 hingga sentiment negatif antartokoh publik.

Tidak tanggung-tanggung, mulai dari pemerintah yang meliputi presiden, jajaran menteri kabinet, anggota DPR, ulama tokoh ormas, hingga selebritis turut serta menggunakan kata-kata yang bisa dikatakan tepat pada batas etika dan berisiko atas bias makna informasi dan menciptakan opini publik yang bersifat ofensif kepada sang komunikator.

Di era digital saat ini, dimana media konvensional dan digital berkompetisi menghadirkan informasi yang terbuka dan cepat namun tentunya sangat berisiko apabila statement tokoh publik kita yang bisa dikatakan blunder, kontroversial dan ofensif tersebar dengan cepat dan masif.

Kejadiannya akan lebih parah apabila informasi yang disampaikan oleh dipotong, ditambah, diubah atau bahkan ‘dipelintir’ sedemikian rupa untuk kepentingan sebagian kelompok tertentu. Informasi yang tersebar khususnya di media digital tentunya bergerak dengan sangat cepat,luas, dan bebas. Hal tersebut aksesibilitas yang tinggi dan kolektif. Informasi dengan bias makna yang luas dapat menciptakan polemik baru didalam benak publik sebagai penerima informasi.

Baca Juga :  Bupati Zaki Bersama Kapolresta Tangerang, Dandim dan Kajari Lakukan Vaksin Booster

Risiko Ciptakan Polemik Baru

Pada 6 April 2020, Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mengeluarkan release yang menyatakan setidaknya terdapat 37 pernyataan yang dinilai blunder pemerintah terkait penanganan Covid-19. Dalam publikasi yang disiarkan dalam situs resmi lp3es.or.id, Direktur Center untuk Media LP3ES, Wijayanto mengungkapkan rincian data pernyatan yang dinilai blunder yaitu 13 pernyataan blunder di masa pra krisis, 4 pernyataan blunder di fase krisis dan 20 pernyataan blunder di masa krisis.

Garis besar yang disimpulkan oleh Wijayanto, blunder yang dilakukan oleh pemerintah adalah bentuk gagalnya kesiapan dan cenderung menyepelekan (wabah Covid-19 ) sehingga timbul kepanikan di benak publik. Salah satu contoh pernyataan yang keluar dari Manteri Kesehatan yang menjabat kala itu, Terawan Agus Putranto mengenai bantahan (denial) Virus Corona masuk ke Indonesia dan ‘enjoy saja’ dalam pecegahan Virus Corona dengan melarang panik, resah, enjoy saja dan makan yang cukup. Dengan gagalnya komunikasi publik pemerintah mengenai kesiapan menghadapi pandemi Covid-19 dapat menimbulkan permasalahan baru mulai dari ketidakjelasan informasi hingga krisis karena kurangnya kesigapan langkah preventif.

Selanjutnya yang tidak kalah hangat adalah bagaimana polemik antara Uztadz Maaher (alm), Nikita Mirzani dan Habib Rizieq Shihab. Publik disuguhkan bagaimana ketiga tokoh publik lintas profesi ini berseteru di dunia maya khususnya di media sosial Twitter dan Instagram. Sentimen negatif bernada seksis dan SARA dimunculkan secara gamblang dan sangat tidak patut untuk dikatakan oleh tokoh publik khususnya yang perkataanya dimasukkan dalam kajian agama.

Baca Juga :  Foto: Dinkes Kota Gelar Vaksin Door To Door Lansia

Pemilihan kata panggilan ‘L*nte’ yang dilontarkan oleh Uztadz Maaher (alm) yang bernama asli Soni Ernata serta Habib Rizieq Shihap saat pernikahan putrinya tentunya sangat sensitif karena publik akan menilai bukan hanya ditujukan kepada subjektif Nikita Mirzani melainkan kepada perempuan pada umumnya. Dengan adanya perseteruan ini, publik dapat melihat secara bebas bagaimana perseteruan itu di komunikasikan karena media yang digunakan adalah media sosial. Walaupun secara etika komunikasi dan sosial itu tidak dibenarkan, bagi publik pendukung atau pengikut tokoh tersebut, tindakan berserteru dengan menggunakan kata panggilan kasar ‘L*nte’ dan mencela di media sosial adalah sebuah hal yang dibenarkan.

Kasus yang terkahir dan masih hangat adalah bagaimana pernyataan Politikus dan anggota DPR-RI Komisi IX dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI Perjuangan) Ribka Tjiptaning menuai kontroversi atas statement penolakannya terhadap vaksin Sinovac. Ribka dengan tegas menolak untuk divaksin dengan Sinovac karena dia beralasan bahwa vaksin tersebut adala barang rongsokan, belum teruji klinik fase III dan dia rela membayar denda Rp5 Juta untuk anak cucunya agar terbebas dari vaksin.

Pendapat ini justru kontradiktif dengan pemerintah yang tengah gencar mensosialisasikan vaksin Covid-19 kepada masyaraka yang dtunjukkan dengan vaksinasi orang pertama yakni Presiden Joko Widodo. Dengan adanya statement tersebut yang tidak disertai data maka masyarakat akan mengalami kebingungan dan ketidak jelasan informasi yang akurat. Komunikasi mengenai Vaksin Sinovac yang dilakukan pemerintah dibuat mentah kembali ditengah kondisi persepsi masyarakat yang masih belum stabil terhadap vaksin. Perlu diketahui, berdasarkan survei WHO pada Oktober 2020, baru sekitar 57% masyarakat Indonesia yang mengaku siap untuk divaksin.

Baca Juga :  Foto: Cegah Omicron, Pemkot Lakukan Booster Bagi Pegawainya

Komunikasi Aktif, Solutif dan Preventif

Dengan adanya fakta atas fenomena tersebut menandakan bahwa tokoh publik kita masih dengan mudah untuk bermain kata-kata dan melanggar batas etika demi kepentingan tertentu. Hal tersebut tidak bisa dihindari namun sudah selayaknya tokoh publik melakukan komunikasi publik yang baik, memberikan edukasi dan pemahaman atas informasi yang benar berdasarkan fakta dan data yang nyata. Ditengah mas pandemi ini, kondisi publik dan masyarakat dalam keadaan krusial untuk merima sebuah kebiajakan dan atau merespon isu sensitif yang berkaitan dengan golongan atau kelompok tertentu.

Maka, sudah seharusnya tokoh publik juga memposisikan publik, fans, umat atau apapun sebutannya sebagai partner komunikasi yang aktif dan tetap mengedepankan etika komunikasi dan profesi. Sehingga tokoh publik tersebut teruji integirtasnya serta kepastikan informasi dapat teruji akuntabilitasnya. Terakhir, masyarakat dan media juga turut beeperan aktif dalam melakukan kritik dan edukasi mengenai fakta kebenaran atas pernyataan yang keliru dan sudah terlanjur menyebar di masyarakat. Adanya justifikasi yang sesuai fakta, aktif dan preventif turut membantu meredakan polemik yang bisa ‘membudaya dan mendendam’ di kemudian hari.

 

Sumber : Opini.id/red