Alat musik ini masuk ke Indonesia ketika zaman kolonial Belanda, pada abad ke-18. Pada saat itu, tehyan sering digunakan pada pesta nikah, hari perayaan, hingga pemakaman.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Phoa, Kian Sioe, dalam “Orkes gambang, Hasil kesenian Tionghoa Peranakan di Djakarta”, gambang (gambang kromong) berawal dari kalangan masyarakat di Batavia pada masa Kapitein der Chinese Nie Hoe Kong (tahun 1736–1740), di masa itu adalah wakti menjelang terjadinya Tragedi Pembantaian Angke (Kali Merah) tahun 1740. Dari Batavia kesenian ini sedemikian populer hingga menyebar ke etnis Tionghoa-Indo di area Benteng, Buitenzorg, Bekassie/Bekasi. Ini sedemikian populernya hingga etnis Betawi juga menggemarinya. Tampak terlihat Mpe Goyong sedang memainkan Tehyan di acara Festival Mookervart Taman Kota Kota Tangerang. Jumat (31/5/24). Banten Aktual/Dennys

Foto: Sejarah Cina Benteng Yang Terbengkalai
Makam Oey Kiat Tjin yang terbengkalai dan menjadi sasaran vandalisme. Pendopo di depan makam masih kekar, tapi digunakan penduduk untuk kegiatan yang merusak. Bagian tubuh makam menjadi tempat penumpukan sampah. Oey Kiat Tjin adalah anak tertua Oey Dji San, dan pewaris tanah partikelir Karawaci, Cilongok Pasar Kemis, Grendeng, dan Gandu. Namun masa bakti Oey Kiat Tjin sebagai kapten Tionghoa terlalu pendek. Dalam bongpay, atau batu nisan, tertulis Oey Kiat Tjin meninggal tahun 1936. Makam yang terletak di Kelurahan Nusa Jaya Kecamatan Karawaci Kota Tangerang mulai di perhatikan oleh penggiat budaya Kota Tangerang, Elsa (panggilan akrab) yang juga masih keturunan Thionghoa di Kota Tangerang, mengajak kepada warga dan pemerintah untuk menjaga dan melestarikan makam Kapiten Oey Kiat Tjin yang sudah menjadi cagar budaya ini. Tampak terlihat warga dan pihak Kelurahan sedang membersihkan makam dan melakukan persembahyangan. Sabtu (15/4/23). Banten Aktual/Dennys